"Saya belum lama menikah. Namun saya tidak bahagia hidup bersama suamiku, karena dahulu keluargaku yang memaksaku menikah dengannya. Permasalahannya, saya tidak ingin mengandung anak darinya. Apakah diperbolehkan saya berdoa kepada Allah agar tidak dikarunia anak? Saya pernah membaca bahwa tidak diperbolehkan menggunakan obat pencegah kehamilan tanpa izin suami. Apakah ini benar?"
Jawab:
"Alhamdulillah, tidak
diperbolehkan bagi wali, baik ayah maupun yang lain menikahkan orang
yang di bawah kekuasaannya tanpa kerelaan anaknya. Berdasarkan sabda
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma:
الأَيْمُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا ، وَالْبِكْرُ تُسْتَأْذَنُ فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صَمَاتُهَا
“Janda lebih berhak atas
dirinya daripada walinya. Adapun gadis harus dimintai izin dan izin
(persetujuannya) adalah ketika ia diam." [HR. Muslim, no. 1421]
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu bahwa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:
لا تُنْكَحُ الأَيْمُ
حَتىَّ تُسْتَأْمَرُ ، وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتىَّ تُسْتَأْذَنُ .
قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا ؟ قَالَ : أَنْ تَسْكُتَ
“Janda tidak boleh
dinikahkan hingga diminta persetujuannya. Begitu pula gadis tidak boleh
dinikahkan hingga diminta izinnya. Mereka bertanya, bagaimana izinnya
wahai Rasulullah? Beliau bersabda: "ketika ia diam" [HR. Al-Bukhari, no.
4843 dan Muslim, no. 1419]
Seorang wali tidak boleh
mempersulit tatkala menikahkan orang yang berada di bawah wewenangnya
atau menghalanginya menikah dengan orang yang ia sukai jika calon
tersebut setara dengannya. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam telah bersabda:
“Jika datang padamu
seorang yang engkau sukai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia. Jika
tidak, maka akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan besar." [HR.
Tirmizi, no. 1084, dihasankan oleh Al-Albany. Silakan lihat soal no. 32580].
Sedangkan apa yang
terjadi pada diri Anda sekarang, maka Anda boleh memilih antara
melanjutkan pernikahan atau tidak. Hendaknya Anda melakukan shalat Istikharah dan memohon petunjuk kapada Allah azza wajalla.
Jika Anda rela, maka
silahkan melanjutkan pernikahan. Namun jika Anda tidak sanggup lagi
melanjutkan pernikahan, Anda berhak untuk membatalkan pernikahan yang
dulu terjadi tanpa kerelaan Anda.
Dari Khansa binti Khazam
Al-Anshori, bahwa ayahnya menikahkannya dengan laki-laki yang tidak ia
sukai saat ia masih menjanda. Lalu ia mendatangi Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, maka pernikahannya dibatalkan [HR. Bukhori, no. 4845]
“Dari Ibnu Abbas radhyiallahu’anhuma bahwa ada seorang gadis mendatangi Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Ia menceritakan bahwa ayahnya menikahkannya dengan laki-laki yang tidak ia sukai. Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam memberikan pilihan kepadanya (antara menerima atau menolaknya)." [HR. Abu Daud, no. 2096, dan dishahihkan oleh Al-Albany]
Sejumlah ulama berpendapat bahwa jika
wanita dinikahkan tanpa kerelaan, maka akad pernikahannya tergantung
persetujuan wanita. Jika ia setuju, maka akad nikahnya sah. Namun jika
ia tidak setuju, maka ia berhak membatalkan pernikahan. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad [Al-Mughni, 7/364, Fathul Bari, 9/194]
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
"Pemaksaan orang tua
terhadap anak wanitanya tatkala menikahkannya dengan laki-laki yang
tidak disukainya adalah haram. Jika haram, berarti pernikahannya tidak
sah dan tidak boleh dilaksanakan. Karena pelaksanaan dan pengesahannya
itu bertolak belakang dengan riwayat yang melarangnya. Karena tujuan
syariat melarang sesuatu adalah agar kita tidak melanggar dan
membatalkan pelaksanaanya. Jika kita mengesahkan akad nikah tersebut
sama artinya kita melanggar dan melaksanakan sesuatu yang dilarang
syariat. Lalu kita menjadikannya seperti akad pernikahan yang
diperbolehkan dalam agama.
Pendapat yang lebih kuat
adalah tatkala orang tua nekad menikahkan anak wanitanya dengan
lak-laki yang tidak ia sukai, maka akad nikahnya batil. Hendaknya
pengadilan agama mengkaji ulang (keabsaan akad nikahnya)." [Al-Fatawa, hal. 760 dan Fatawa Syaikh Ibnu Ibrahim, 10/73-78]
Adapun penggunaan obat
pencegah kehamilan tanpa sepengetahuan suami, maka hal itu bukanlah
sebuah solusi. Karena Anda tetap berada di bawah orang yang tidak Anda
sukai. Sebagian ulama telah menegaskan hal itu sebagaimana Fatwa Syaikh
Ibnu Ibrahim, jika wanita itu (istri) rela dinikahkan secara paksa
dengan laki-laki yang tidak disukainya, maka hak untuk meminta
pembatalan (akad nikah) telah gugur. Tatkala hak pembatalan akad nikah telah gugur, maka laki-laki itu telah sah secara agama menjadi suami Anda.
Jika memang kondisinya demikian, maka Anda tidak diperbolehkan
mengambil (mengkonsumsi) obat pencegah kehamilan kecuali dengan
sepengetahuan suami, itu pun terbatas jika memang ada keperluan."
Dinukil oleh Abul-Harits dari islamqa.info
Sumb: http://abul-harits.blogspot.com/